Tarik Investasi, PBB Hulu Migas Diminta Dipangkas


Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mengaku telah meminta Kementerian Keuangan untuk menurunkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hulu migas. Permintaan disampaikan karena hitungan PBB yang ada saat ini dianggap terlalu memberatkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sehingga bisa menghalangi investasi hulu migas.


Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan mengatakan seharusnya PBB sektor hulu migas direvisi seiring perubahan skema kontrak bagi hasil produksi (Production Sharing Contract/PSC) migas dari sebelumnya PSC cost recovery menjadi PSC gross split.

Sebelumnya, di dalam PSC cost recovery, segala perpajakan hulu migas seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnbM), Pajak Penghasilan impor (PPh pasal 22), dan PBB memang dibebankan kepada KKKS untuk kemudian dibebaskan kembali (assume and discharge). Ketentuan ini tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di bidang Usaha Hulu Migas.

Hanya saja, ketika PSC Gross Split diberlakukan, pemerintah tidak lagi membebaskan beban perpajakan kepada KKKS. Ini mengingat skema PSC Gross Split tak mengenal penggantian biaya operasi hulu migas dari pemerintah (cost recovery).



"Nah, karena perubahan skema PSC ini, kami juga harapkan ada penurunan juga untuk PBB-nya. Kami sudah sampaikan usulan ini secara resmi kepada Kemenkeu," jelas Arief, Jumat (19/7).

Ia melanjutkan penurunan PBB memang disasar oleh SKK Migas lantaran itu cukup membebani KKKS. Terlebih, perhitungan PBB Migas terbilang rumit.

Saat ini, Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) objek pajak migas dihitung 40 persen dari tarif objek pajak. Adapun, tarif objek pajak sendiri dihitung dari 0,5 persen dikali konstanta sebesar 10,22 persen dikali volume produksi dikali harga. Harga sendiri, jelas dia, merupakan hasil dari 17,5 persen dikali harga minyak mentah Indonesia (ICP).

Menurut dia, perhitungan ini membebani KKKS. Pasalnya, pajak dihitung dari volume produksi keseluruhan. 


Padahal, di dalam PSC, produksi ini seharusnya dibagi dua antara pemerintah dan KKKS. Maka dari itu, menurut dia, tak adil jika KKKS jika ikut menanggung PBB dari hasil produksi migas yang merupakan bagian pemerintah.

"Jadi usulan kami adalah, perhitungan PBB migas ini didasarkan saja pada bagian produksi milik KKKS. Kan misalnya di dalam bagi hasil produksi, 55 persen bagi pemerintah dan 45 persen bagi KKKS. Nah, perhitungan PBB migas ini menggunakan basis 45 persen dari volume produksi saja, jangan total volume," jelas dia.

Tak hanya itu, ia juga ingin harga minyak yang menjadi dasar perhitungan juga diubah. Saat ini, nilai 17,5 persen dari ICP juga terbilang memberatkan KKKS yang fokus memproduksi gas.
Ia mencontohkan, jika saat ini harga ICP senilai US$60 per barel, artinya basis harga yang digunakan oleh PBB adalah US$10,5. Padahal, rata-rata harga gas hulu saat ini di bawah US$10 per MMBTU.


"Dan ini pun kami juga minta agar asumsi harga yang digunakan adalah harga yang riil saja, jadi tidak ribet," jelas dia.

Untungnya, menurut Arief, Kemenkeu sudah sangat intens berkomunikasi dengan SKK Migas terkait kebijakan ini. Adapun, komunikasi secara intens sudah berlangsung selama sebulan terakhir. Ia berharap, Kemenkeu mau mengabulkan permintaan ini agar iklim investasi migas lebih menarik.

SKK Migas mencatat, investasi hulu migas hingga Juni 2019 sebesar US$5,21 miliar. Jumlah ini meningkat 16 persen dibandingkan capaian semester I 2018 sebesar US$4,49 miliar. Adapun rencananya, investasi hulu migas diproyeksikan bisa mencapai 42 proyek hingga 2027 dengan total investasi US$43,3 miliar.

"Dan waktu itu pun Wakil Menteri ESDM dan Wakil Menteri Keuangan sudah bertemu membahas hal tersebut agar masalah perpajakan bisa lebih ringan," papar dia.