Ekonom Tuding Kebijakan Pemerintah dan BI Tekan Sektor Ritel

SITUSJUDIONLINE- Ekonom Purbaya Yudhi Sadhewa menilai lesunya pertumbuhan sektor ritel tak lepas dari kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang belum optimal. Pasalnya, kebijakan yang tidak optimal akan menyebabkan lemahnya perekonomian dan daya beli masyarakat. Ujung-ujungnya, sektor ritel tertekan.

Sebelumnya, Asosiasi Pemasok Pasar Indonesia (AP3MI) mengatakan pelemahan konsumsi masyarakat menengah bawah yang tercermin dari penjualan toko tradisional telah menekan kinerja sektor ritel. Berdasarkan data AP3MI, penjualan toko tradisional cenderung tumbuh negatif 4 persen pada semester I 2019. Sementara, data penjualan ritel modern yang mewakili kelas menengah atas justru tumbuh 9 persen pada semester I 2019.

"Kita mesti waspada (terhadap) apa yang terjadi sekarang. Kemungkinan besar memang ada kebijakan yang dijalankannya belum optimal sehingga ekonomi kita tidak bisa lari," ujar Purbaya, Selasa (30/7).


Menurut Purbaya, daya beli masyarakat merupakan konsekuensi dari ramuan kebijakan fiskal dan moneter. Penyebab ekonomi yang kurang darah, lanjut Purbaya, bisa dilihat dari seberapa longgar pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter saat ini.


Dari sisi fiskal, Purbaya menyorot banyaknya anggaran pemerintah yang ditaruh di BI. Padahal, uang tersebut bisa dikucurkan untuk menambah daya beli masyarakat.

Ia menyebut setiap tahunnya pemerintah masih memiliki Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengerek konsumsi masyarakat. Tahun lalu, SiLPA tercatat sebesar Rp36,2 triliun.

"Mungkin pengelolaan fiskal belum optimal dalam pengertian masih ada sisa uang lebih setiap tahun dari pemerintah, dan uangnya itu sebagian ditaruh di BI sehingga turut memperketat kebijakan moneter," ujarnya.

Dari sisi moneter, selain penurunan suku bunga, seberapa longgar kebijakan bank sentral bisa dilihat dari pertumbuhan jumlah uang yang beredar. Sebagai catatan, pelonggaran kebijakan Bank Indonesia akan menyebabkan semakin banyak jumlah uang yang beredar.

Namun, menurut Purbaya, pertumbuhan jumlah uang beredar yang saat ini hanya satu digit masih di bawah harapan. Untuk itu, pelonggaran kebijakan BI masih dibutuhkan.

Berdasarkan data BI, uang beredar dalam arti sempit (M1) hanya tumbuh 7,4 persen. Sementara, dalam arti luas (M2) , pertumbuhan uang beredar cuma 7,8 persen.

Sesuai defisinisi BI, M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro berdenominasi rupiah). Sementara, M2 meliputi M1, uang kuasi (mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valas, serta giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun. 

"Artinya ya wajar-wajar saja terjadi perlambatan ekonomi seperti sekarang. Malah masih untung kita bisa tumbuh di atas 5 persen. Kalau kita tidak hati-hati atau tidak mengubah kebijakan ya kita akan segini atau bisa lebih lambat lagi," ujarnya.

E-commerce Bukan Ancaman
Purbaya menambahkan peralihan pola konsumsi konsumen dari belanja konvensional ke daring tidak akan berpengaruh terhadap sektor ritel dan pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, yang berubah hanya cara untuk berbelanjanya tetapi dampaknya terhadap ekonomi tetap sama.

"Amerika Serikat juga tadinya biasa lalu pindah ke online, tidak ganggu pertumbuhan ekonomi, karena hanya pindah saja. Produsen tetap saja untung. Artinya, Pendapatan Domestik Bruto tidak terganggu," tuturnya.