Desa Lansia yang Merindukan Kaum Millennial


Terletak di kaki bukit yang tertutup kabut di pegunungan tengah Taiwan, hampir tak terlihat anak muda di desa Ruan Chiao, tetapi seniman Wu Tsun-hsien membujuk "generasi Instagram" datang dengan mengubah rumah-rumah lokal menjadi kanvas warna.


Sambil mencelupkan kuasnya ke dalam kaleng emulsi berwarna krem, ia dengan hati-hati mengoles lapisan cat baru untuk produksi terbarunya - sebuah adegan pedesaan yang hidup dan petani dalam topi anyam tradisional.

Di belakangnya seorang lansia dengan tongkat berjalan di jalan utama, yang dihiasi dengan lukisan Wu penuh warna.


"Desa ini penuh dengan orang-orang tua," keluh pria berusia 55 tahun itu, menjelaskan bagaimana sebagian besar anak muda - termasuk anak-anaknya sendiri - telah pindah ke kota, membuat penduduk lanjut usia menjadi tak berdaya dan kesepian.

Tapi lukisan sudah mulai mendatangkan pengunjung muda, yang selalu tertarik untuk selfie.

"Gambar-gambar ini menarik banyak wisatawan untuk datang berkunjung. Orang-orang tua yang ditinggalkan di sini tidak lagi bosan. Ini adalah pencapaian terbesar saya," katanya.

Wu tidak sendirian dalam mengadopsi strategi ini.

Sekarang ada sekitar setengah lusin "desa grafiti" di Taiwan yang telah dihiasi dengan karya seni dalam upaya menyuntikkan kehidupan di pedesaan yang telah kehilangan anak mudanya.

Desa kosong

Seperti banyak tempat industri, transformasi ekonomi Taiwan yang luar biasa selama beberapa dekade terakhir telah menjungkirbalikkan masyarakat pedesaan dan melepaskan perubahan demografis yang sangat besar.

"Ini mungkin fenomena yang lebih baru daripada yang terjadi di beberapa tempat lain," kata Shelley Rigger, seorang ahli di Taiwan di Davidson College di North Carolina, yang mengatakan banyak industri yang muncul di desa-desa.

"Orang-orang menjahit pakaian boneka Barbie di rumah mereka dan membawanya ke pabrik pengemasan di pusat desanya," lanjutnya.

Tetapi begitu banyak manufaktur bergeser ke daratan China pada akhir 1990-an sehingga banyak yang kehilangan pekerjaan.

"Saat itulah Anda melihat daerah pedesaan agak kosong," tambah Rigger.

Sebanyak 23 juta penduduk Taiwan juga dalam kategori menua. Tingkat kelahiran menurun drastis, hanya 180 ribu anak yang lahir tahun lalu, terendah dalam delapan tahun.

Keluarga Wu juga mengalami masalah tersebut.

Rumah leluhur ditempati oleh ayah dari istrinya yang berusia 81 dan ibunya yang berusia 72 tahun.

Mereka masih menggarap beberapa kebun sayur di perbukitan desa. Tetapi anak-anak Wu sendiri pergi ke universitas dan pergi, satu ke Australia, yang lain ke kota terdekat.

Istri Wu, Fan Ai-hsiu menjelaskan upaya mereka mendatangkan kerumunan anak muda bukan untuk keuntungan secara ekonomi, namun demi membahagiakan kaum lansia - khususnya orangtua mereka - di sini.

"Mereka ingin bercakap-cakap dengan orang-orang, itu yang mereka lewatkan, ini bukan tentang uang," kata Fan.

Tetapi pada awalnya bukanlah tugas yang mudah untuk membujuk sesama penduduk desa untuk menggunakan dinding rumah mereka sebagai kanvas.

"Orang-orang di sini cukup konservatif," kenangnya, menambahkan: "Tapi begitu beberapa lukisan pertama selesai, mereka menganggapnya berguna."


Tema sosial

Sebagian besar lukisan Wu di desa bertemakan simbol keberuntungan.

Desa ini adalah rumah keluarga di mana ia benar-benar dapat mengekspresikan dirinya - dan yang menarik banyak pengikut di media sosial.

Bertengger di lereng yang menghadap ke desa, seluruh rumah dipenuhi gambar, banyak di antaranya menyuarakan "politik" Wu.

Dia sangat percaya bahwa usaha mengatasi perubahan iklim masih tidak cukup, sehingga beberapa gambar menunjukkan adegan apokaliptik dari kerusakan lingkungan.

Yang lain adalah komentar tentang masalah sosial seperti pernikahan gay - yang dia lawan - atau bagaimana lansia diperlakukan dalam masyarakat yang semakin konsumtif.

"Lukisan dinding ini menggambarkan masyarakat korup Taiwan saat ini," komentar Wu ketika dia berjalan di sepanjang dinding besar yang dilukis dengan menampilkan ratusan gambar.

"Yang ini adalah kekacauan masyarakat karena ponsel, komputer, dan televisi ... dan ini adalah kerugian budaya kita di mana banyak generasi muda Hakka kita tidak mengenal budaya itu," tambahnya.

Hakka adalah kelompok orang yang berbeda secara linguistik yang melacak asal-usul mereka kembali ke selatan China. Mereka telah tinggal di Taiwan selama sekitar empat abad dan merupakan 15-20 persen dari populasi.

Evelyn Sun mengadakan acara seni dan makanan di Taipei dan mengetahui tentang lukisan Wu melalui media sosial.

Dia mengunjungi keluarga Wu bersama teman-temannya. Mereka menyantap hidangan sayur Hakka tradisional dan menyelipkan telur yang direbus dalam resep turun temurun.

"Taiwan memiliki banyak 'desa grafiti' yang merupakan tempat berpemandangan indah di mana orang akan pergi begitu saja setelah mengambil foto," kata Sun.

"Tapi saya menyadari ketika saya datang setiap mural di sini menggambarkan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat."

Dia berharap anak muda Taiwan lainnya akan lebih sering menjelajahi pedesaan.

Dia menjelaskan: "Orang-orang ini adalah budaya kita, mereka adalah sejarah kita, kita harus mengenal mereka."