Ulasan Film SiDoel 2 Yang Bikin Anda Penasaran Nonton


Setelah setahun ditinggal ketidakpastian atas keputusan Doel akan Sarah, kini anak Betawi itu datang kembali melalui Si Doel the Movie 2. Kali ini harus saya katakan bahwa film sekuel ini kembali ke jiwa asalnya, sinetron ala dekade '90-an.

Bukan tanpa alasan kesan seperti dua dekade silam muncul kembali. Pertama, Si Doel 2 ini lebih banyak berlatar di rumah keluarga Doel yang legendaris itu, sama seperti sinetronnya. Hal ini yang kemudian membuat segala drama dan nuansa yang terbangun -agak- persis seperti dulu kala.

Hal itu berbeda pada film sebelumnya yang sebagian besar berada di Belanda. Film Si Doel the Movie 1 memang membangkitkan kembali kenangan nostalgia akan serial Si Doel Anak Sekolahan, namun dengan latar cerita di Belanda, rasanya kurang 'Betawi'.


Alasan kedua adalah semua karakter dalam film Si Doel the Movie 2 hidup dengan porsinya masing-masing. Kali ini, Doel (Rano Karno) punya porsi dialog yang lebih banyak dibanding tahun lalu. Begitu pula dengan karakter lain, mulai dari Atun (Suti Karno), Mandra (Mandra), hingga Mak Nyak (Aminah Cendrakasih).

Bila mengenang film sebelumnya, Doel lebih banyak diam dan termangut menerima fakta-fakta soal Sarah dan anak mereka, Dul (Rey Bong) di tengah kehidupan Belanda. Kini, Doel mengungkapkan konflik dan isi pikirannya secara terbuka yang membuat penonton jadi lebih mudah memahami masalah.

Seiring Doel yang semakin 'hidup', Atun dan Mandra juga memiliki peran penting dalam mengatur konflik yang ada dalam diri Doel. Kedua karakter bersaudara itu bahkan bisa disebut membuat film ini lebih dinamis.


Dalam Si Doel the Movie 2, Atun dan Mandra membangkitkan kembali aksi bertengkar yang pernah mereka mainkan saat versi sinetron dulu. Namun bedanya, Atun kali ini tampak lebih dewasa dan matang sedangkan Mandra semakin kekanak-kanakan. 

Bahkan, untuk kali pertama, saya geregetan melihat Mandra terlalu banyak 'bacot' setelah pada film pertama penampilannya begitu menghibur. Walaupun, Mandra tetap memegang peranan penting memberikan lelucon yang sedikit-banyak bisa membuat bibir, minimal, tersenyum.

Namun saya harus kecewa karena kurang merasakan kegalauan dan kepedihan Zaenab yang mestinya bisa dimainkan dengan sangat baik oleh Maudy Koesnaedi. Maudy memang murung dan terlihat galau, namun perasaan Zaenab kurang keluar dari layar lebar bioskop dan menjangkau penonton.


Selain itu, tampaknya Rano Karno kurang memerhatikan hal detail dalam film ini, terutama kebiasaan Zaenab dalam membawa rantang saat berkunjung.

Kejutan datang dari Cornelia Agatha. Setelah pada film pertama saya merasa ia masih amat kaku memerankan sosok Sarah, kali ini Cornelia lebih luwes dan santai. Bahkan, tugasnya untuk memancing penonton menitikkan air mata terbilang dilaksanakan cukup baik. Apalagi, ia melakukannya bersama dengan Aminah Cendrakasih.

Namun tak semua karakter memerankan peran penting dalam sekuel ini. Sejumlah kehadiran karakter sebenarnya tak perlu ada lantaran hanya terlibat dalam beberapa adegan dan tak berpengaruh dalam jalan cerita, kecuali Rano Karno punya ide lain selain menambah durasi film.


Kesan kembali ke jiwa sinetron juga muncul dari inisiatif Rano membawa sejumlah kenangan dari serial tersebut. Jelas kualitas gambar menjadi kendala. Namun bagi mereka yang sudah pernah menonton serialnya, setidaknya satu dekade lalu, hal itu rasanya masih bisa dimaklumi.

Bila dari segi cerita Si Doel the Movie 2 mengalami peningkatan dibanding sebelumnya. Hal sebaliknya terjadi dengan penyuntingan gambar. Beberapa adegan muncul dengan hasil CGI yang masih kasar. Bahkan teknik filter dan suntingan yang digunakan dalam sejumlah adegan terbilang 'lebay'.

Secara umum, film Si Doel the Movie 2 tampaknya bukan lagi sebagai pemancing untuk mendapatkan pasar baru seperti yang dilakukan pada versi prekuelnya. Namun film ini sudah masuk dalam bahasan sajian bagi penggemar sejati serial Si Doel.