Sosiolog Dwi Winarno menjelaskan, tradisi mudik di Indonesia mulai terjadi pada sekitar tahun 1970-1980-an, saat beberapa kota di Indonesia tumbuh menjadi kota besar. Kota-kota besar ini umumnya dibangun oleh para pendatang yang bermigrasi dari desa ke kota.Ketika Hari Raya Idul Fitri, mereka kembali ke kampung halaman sebagai ajang untuk menunjukkan kesuksesan. "Jadi, awal mulanya ketika mudik berbarengan hari raya, mereka mencari legitimasi sosial kesuksesan di kota besar dan ingin membangun persepsi sukses. Bahwa mereka mendapat pekerjaan, gaji yang besar, hidup yang yang mewah dibandingkan di desa," kata Dwi kepada nana.com beberapa waktu lalu jelang Lebaran.Berdasarkan data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik selama masa Lebaran mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Pada 2018 jumlah pemudik mencapai 21,6 juta orang, meningkat dari 2017 sebanyak 20,3 juta orang.
Pada tahun ini, jumlah pemudik diprediksi mencapai 23 juta orang. Jumlah yang tinggi ini membuat Indonesia menjadi negara dengan mobilisasi paling tinggi saat Lebaran.Saat ini, kata Dwi, tradisi mudik mengalami pergeseran makna karena bukan lagi pengakuan kesuksesan, tapi juga untuk bersilaturahmi atau bertemu dengan keluarga."Sekarang mengalami perubahan untuk bertemu keluarga dan teman di masa kecil. Hari raya jadi waktu yang ideal untuk itu," ucap Dwi.Waktu Hari Raya Idul Fitri dipilih karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan pada masa itu pula ada kesempatan libur yang panjang bagi para pekerja.
"Liburnya panjang, jadi memungkinkan mereka melakukan banyak aktivitas di kampung, seperti nostalgia dan refleksi kehidupan di kota," tutur Dwi.
Post a Comment